Monday, September 28, 2009

The First Generation of AHLUL BAIT


Diikhtisar dari buku : "ANAK CUCU NABI" karya Syeh Abdul Mun’im Al-Hasyimi


PUTRA PUTRI NABI


Al-Qosim
Anak tertua Nabi dengan Siti Khadijah, sebagian riwayat menyatakan hidup sampai pada usia 2 tahun.

Zainab
Putri tertua Nabi dengan Siti Khadijah. Suaminya adalah Abu Al-Ash bin Ar-Rabi’ seorang niagawan yang sukses. Ketika masa berhijrah, Zainab tidak ikut karena mengikuti suaminya di Mekah yang belum masuk islam. Saat terjadi perang Badar Abu Al-Ash bin Ar-Rabi menjadi tawanan kaum muslimin dan ditebus oleh Zainab dengan kalung pemberian Siti Khodijah dan dengan syarat Zainab harus dikirim ke Madinah. Sehingga antara Zainab dan Abu Al-Ash terpisah sampai masa Fathu Mekah, dimana Abu Al-Ash ahirnya masuk islam dan ikut pindah ke Madinah. Zaenab melahirkan seorang putra bernama Ali bin Abu Al-Ash dan seorang putri bernama Umamah binti Abu Al-Ash bin Ar-Rabi’, yang kemudian dinikahi Ali bin Abi Thalib setelah Siti Fatimah meninggal dunia. Zainab meninggal pada tahun 8 H dan dimakamkan di Baqi’.

Ruqoyyah

Ketika masa Jahiliyah, Abdul Uzza (Abu Lahab) dan istrinya Ummu Jamil bersama dengan Abu Thalib datang kepada Nabi dengan tujuan meminang Ruqoyyah untuk Uthbah dan Ummu Kultsum untuk Utaibah. Tapi ketika masa keislaman berkembang, Abu Lahab dan Istrinya menjadi musuh Rasul (QS. Al-Lahab 1-5) yang diikuti anaknya Uthbah dan Uthaibah lalu menyuruh mereka untuk menceraikan putri-putri Nabi tersebut. Setelah bercerai dengan Uthbah kemudian Ruqoyyah menikah dengan Utsman bin Affan dan melakukan Hijrah ke Habsyi dan melahirkan anak disana bernama Abdullah yang berusia sampai 6 tahun. Setelah beberapa lama di Habsyi, Ruqoyyah kembali ke Mekkah dan kemudian ikut hijrah ke Madinah. Ketika berlangsung perang Badar tahun 2H, Ruqoyyah terserang penyakit campak sehingga Ustman bin Affan tidak ikut perang badar atas perintah Rasul untuk menjaga istrinya. Penyakit ini lama-kelamaan semakin parah sehingga Ruqoyyah meninggal dunia dan dimakamkan di Baqi’ tanpa dihadiri Rasul yang masih ikut berperang.

Ummu Kultsum
Setelah bercerai dengan Uthaibah bin Abu Jahal, Ummu Kultsum kembali ke lingkungan keluarga Nabi. Ummu Kultsum mengikuti fase-fase cahaya kenabian mulai dari masa dakwah rahasia, dakwah terang-terangan, masa embargo Bani Hasyim sampai masa Hijrah ke Madinah. Ketika di Madinah Ummu Kultsum ikut merasakan kegembiraan ketika umat islam menang dalam perang Badar, namun kegembiraan itu berubah seiring dengan meninggalnya Ruqoyyah. Untuk mengobati kesediahan tersebut Utsman bin Affan dinikahkan dengan Ummu Kultsum dan mendapat gelar Dzun Nurain (yang memiliki dua cahaya) karena telah menikahi dua putri Nabi. Selama pernikahan, Ummu Kultsum dengan setia mendampingi suaminya dalam perjuangan bersama Rasul dari perang Uhud sampai perang Tabuk tahun 9 H dimana suaminya menyumbang 400 unta pada perang tersebut. Ketika masa persiapan menghadapi perang Tabuk, Ummu Kultsum terserang penyakit kemudian meninggal dan dimakamkan di Baqi’.

Fatimah Az-Zahrah
Kelahiran Fatimah bersamaan dengan peristiwa peletakan kembali Hajar Aswad oleh Nabi setelah Ka’bah direnovasi yaitu pada hari Jum’at, 20 Jumadil Akhir lima tahun sebelum kenabian. Fatimah paling mirip wajahnya dengan Nabi dan mendapat beberapa julukan yaitu : Az-Zahrah karena kulitnya yang putih, Al-Batum karena serupa dengan Maryam dalam kemuliaan disisi Allah, Ummu Abiha karena putri bungsu dan yang juga merawat Rasul sampai meninggal. Fatimah hijrah ke Madinah bersama dengan Ummu kultsum setelah dijemput oleh Zaid bin Haritsah atas perintah Nabi yang telah hijrah lebi dulu. Di usia 18 tahun Fatimah menikah dengan Ali bin Abi Thalib pada bulan Rajab tahun 2 H setelah perang badar. Ali dan Fatimah tinggal dirumah sederhana yang hanya ada selimut, bantal serabut, penumbuk tepung, wadah air dan minyak wangi. Rumah Tangga Fatimah dan Ali pernah bergejolak ketika Ali berniat memadu Fatimah dengan putri Amr bin Hisyam bin Al-Mughiroh Al-Makhzumi (Abu Jahal) yang membuat Fatimah dan Nabi marah yang akhirnya dibatalkan oleh Ali seiring dengan mengandungnya Fatimah saat itu. Akhirnya tahun ke-3 H Fatimah melahirkan Hasan kemudian disusul Husein pada tahun ke-4 H, Zaenab pada tahun ke-5 H dan Ummu Kultsum pada tahun 7 H. Pada bulan Shafar tahun 11 H Nabi merasakan sakit dan akhirnya wafat yang membuat Fatimah sedih. Dalam larut kesedihan Fatimah terserang penyakit yang lama- kelamaan semakin parah. Pada hari senin 2 Ramadhan tahun 11 H Fatimah memeluk dan memandangi keluarganya untuk terakhir kali, kemudian mandi dan memakai baju baru kemudian merebahkan diri menghadap kiblat dan meninggal dengan tenang. Sebelum meninggal Fatimah berwasiat kepada Ali 3 hal, yaitu : agar Ali menikah dengan Umamah binti Abu Al-Ash bin Ar-Rabi’, agar Ali membuat keranda khas Habsyi (keranda pelepah kurma diatas ranjang dan ditutupi pakaian) sebagaimana cerita Asma binti Umais dan agar Fatimah dimakamkan di malam hari.

Ibrahim
Ibunya Maria Al-Qibtiyah binti Syam’un, salah satu dayang dari Juraij bin Minaa (pembesar Coptic Mesir sebelum Heraklius) di istana Al-Muqawqis yang dihadiahkan kepada Nabi. Setelah masuk islam dan menjadi istri Nabi, Maria ditempatkan di rumah Al-Harist bin Nu’man, namun dikarenakan kecemburuan para istri beliau Maria dipindahkan ke Al-‘Aliyah. Nabi sangat bahagia dengan kelahiran Ibrahim yang merupakan penyejuk dan penghibur setelah seluruh putra-putri beliau dari Siti Khodijah meninggal dunia kecuali Siti Fatimah. Tapi Rasulullah dan Maria tidak dapat menikmati masa indah bersama putranya dalam waktu lama dikarenakan Ibrahim sering terserang penyakit dan akhirnya meninggal dan dimakamkan di Baqi’. Bersamaan dengan meninggalnya Ibrahim terjadi gerhana matahari di Madinah dan menjadi sebab diperintahkannya sholat Kusuf dan Kusyuf salah satu sholat sunnah yang boleh dikerjakan di waktu terlarang.

CUCU CUCU NABI


Umamah binti Abi Al-Ash bin Ar-Rabi

Cucu pertama Nabi dari Zainab binti Muhammad SAW, oleh karena itu mendapatkan perhatian penuh dari kakek dan neneknya, dan pernah diriwayatkan bahwa Nabi pernah membawa Umamah dalam keadaan sholat. Setelah perkembangan Islam masa keceriaan tersebut berubah menjadi masa yang sulit, dimana Ayah dan Ibunya harus terpisah karena perbedaan agama, pada tahun 8 H ibunya meninggal setelah ayahnya masuk islam, kemudian tahun 12 H giliran Ayahnya yang meninggal dunia. Setelah Fatimah meninggal, Umamah menikah dengan Ali bin Abi Thalib dan menemaninya dengan setia termasuk selama menjadi khalifah selama 25 tahun di Kufah. Setelah meninggalnya Ali bin Abi Thalib dalam peristiwa penghianatan Khawarij, Umamah menikah dengan Al-Mughiroh bin Naufal atas wasiat Ali bin Abi Thalib. Al-Mughiroh bin Naufal adalah pembekuk Abdurrahman bin Muljam (pembunuh Ali bin Abi Thalib). Selama hidupnya Umamah tidak mempunyai mempunyai anak hingga meninggal pada masa pemerintahan Muawiyah

Abdullah bin Utsman bin Affan

Anak dari Ruqoyyah binti Muhammad SAW yang lahir di Habsyi ketika masa hijrah disana. Ketika umur Abdullah menginjak enam tahun, seekor jago mematuk matanya, sehingga menyebabkan pembengkakan di wajahnya dan berakhir dengan kematian.

Hasan bin Ali bin Abi Thalib

Lahir pada bulan Ramadhan tahun 3 H diberi nama Hasan berdasar wahyu dari Jibril bahwa nama tersebut belum dikenal padamasa Jahiliyyah. Hasan adalah orang yang memiliki kemiripan dengan Nabi mulai dada hingga kepala dan mewarisi kewibawaan dan keagungan Nabi. Gelar Hasan yang paling terkenal adalah Sayyaid (Pemimpin) dimana dalam hadist Nabi disebutkan akan mendamaikan dua kelompok besar dalam islam. Tatkala Ali bin Abi Thalib terbunuh Hasan dibaiat di Kufah dan Muawiyah memproklamirkan diri sebagai Khalifah di Syam. Hampir tejadi pertempuran besar antara kedua belah pihak bahkan Hasan sendiri hampir terbunuh dalam sebuah peristiwa di Mada’in. Perselisihan ini akhirnya diredam oleh Hasan dengan diserahkannya Kekhalifahan kepada Muawiyah dengan beberapa syarat tertentu. Total istri Hasan berjumlah 90 orang dengan minimal istri yang tidak dicerikan ada 4 perempuan merdeka. Istri-istrinya yang terkenal adalah : Khaulah binti Mandzur, Aisyah Al-Khats’amiyah, Ja’dah binti Al-Asy’ats yang dituduh menaruh racun untuk Hasan atas hasutan Yazid bin Muawiyah yang berakibat meninggalnya Hasan. Sedangkan anak-anak Hasan diantarannya: Al-Hasan, Zaid, Thalhah, AL-Qosim, Abu bakar, Abdullah,Abdurrahman, Al-Husain, Ya’qub yang sebaian ikut terbunuh dalam peristiwa Karbala. Sebelum Hasan meninggal berwasiat agar dimakamkan di rumah Aisyah tapi hal ini dilarang oleh Bani Umayyah yang sedang berkuasa waktu itu dengan alasan waktu itu Bani Hasyim melarang Ustman bin Affan dimakamkan disana, hampir terjadi perang pada perselisihan ini, tapi berhasil diredam oleh Abu Hurairah dan akhirnya Hasan dimakamkan di Baqi’ pada tahun 49H.

Husain bin Ali bin Abi Thalib

Lahir pada bulan Sya’ban tahun 5 Husain adalah orang yang memiliki kemiripan dengan Nabi mulai dada hingga kaki dan mewarisi keberanian dan kemurahan Nabi. Istri dan anak Husain diantaranya:
Ar-Rabab putri Imru’ul Qois bin Adi yang ikut menjadi saksi tragedy Karbala dan mempunyai anak Sukainah yang mendapat julukan gadis tercantik pada masanya
Sulafah atau Ghazalah (Syah Zinan) putri Yazdajrad Raja terakhir Persia yang kalah perang dengan kaum Muslimin dan mempunyai anak Ali bin Al-Husain yang bergelar Zainal Abidin yang akhirnya menurunkan para Auliya’
Laila binti Abu Marwah mempunyai anak Ali Al-Akbar
Ummu Ja’far Al-Qadha’iah mempunyai anak Ja’far
Ummu Ishaq binti Thalhah bin Abdullah yang sebelunya menjadi istri Hasan bin Ali dan mempunyai anak Fatimah
Aisyah binti Khalifah mempunyai anak Muhammad
Atikah binti Zaid bin Amr
Hafshah binti Abdurrahman bin Abu Bakar Ash-Shiddiq
Seorang budak yang dimerdekakan
Ketika Muawiyah meninggal pada tahun 60 H, Yazid memproklamirkan diri menjadi Khalifah selanjutnya. Tapi hal ini di tentang olah penduduk Mekkah dan Kufah dan berharap agar Husain yang menjadi Khalifah. Akhirnya Husaein menuju ke Irak untuk memenuhi bai’at penduduk Kufah tanpa mendengarkan nasehat dari sahabat – sahabat beliau agar tidak pergi ke Kufah. Setelah sampai di Irak terjadilah tragedi Karbala pada tanggal 10 Muharam dimana Husein dan sebagian besar keluarganya terbunuh disana atas konspirasi dari Ubaidillah bin Ziyad.

Zainab bin Ali bin Abi Thalib

Lahir pada tahun 5 H, mendapat julukan Al-Aqilah (yang terhormat) dikarenakan mengalami berbagai peristiwa tragis yang akhirnya membentuk pribadi Zainab menjadi pribadi yang bersahaja. Setidaknya sampai usia 10 tahun Zainab telah menjadi saksi dari peristiwa meninggalnya Khadijah, Nabi Muhammad SAW dan Fatimah. Kemudian disusul dengan peristiwa terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, Perang Jamal, Perang Shiffin, terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi Thalib, ‘Am Al-Jama’ah, Penghianatan masyarakat Kufah, meninggalnya Hasan bin Ali bin Abi Thalib karena di racun dan tragedi Karbala dimana sebagian besar keluarganya terbunuh termasuk Husein in Ali bin Abi Thalib. Setelah peristiwa Karbala Zainab dan anggota perempuan lainnya diarak menuju Kufah untuk dihadapkan kepada Yazid bin Muawwiyah dan kemudian dikembalikan ke madinah. Selama di Madinah Zainab bersikap kritis terhadap pemerintahan Bani Umayyah dan membuat keselamatannya terancam. Karena itu berdasar nasehat dari Bani Hasyim akhirnya Zainab memutuskan untuk pindah ke Mesir dan meninggal disana pada tahun 62 H. Zainab menikah dengan Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib dan melahirkan beberapa anak diantaranya : Ali, Aun, Abbas, Muhammad dan Umu Kultsum






Selengkapnya... »»

Thursday, July 9, 2009

Lahirnya Garuda Pancasila, Sepenggal Sejarah Yang Terabaikan


Siapakah yang merancang GARUDA PANCASILA? pasti sebagian besar diantara kita tidak tahu jawabannya. Kenapa? Karena hal ini tidak pernah diajarkan di sekolah sebagaimana diajarkan jika Pancasila dicetuskan oleh Bung Karno, Lagu Indonesia Raya diciptakan oleh W.R Supratman dan Ibu Fatmawati sebagai penjahit bendera merah putih.

Mengapa Burung Garuda ?
Garuda adalah adaptasi dari Garida yang dalam mitologi Hindu India berbentuk manusia berwarna emas, berwajah putih, berparuh dan bersayap merah. Diperkirakan sosok ini adalah adaptasi Hindu terhadap Dewa Ra/Bennu dalam mitologi Mesir kuno. Garuda juga banyak kesamaan dengan mitologi Pha Krut (Thailand), Rukh (Arab), Simurgh (Persia), Thunderbird (Indian), Vurumahery (Madagaskar) dan Phoenix (Yunani Kuno).
Di Indonesia mitologi Garuda sudah ada sejak abad ke-6 dengan digunakannya Garuda sebagai lambang pada Kerajaan Mataram Kuno (Garudamukha), Kerajaan Kedah (Garudagaragasi), Kerajaan Sumatera dan Kerajaan Sintang Kalimantan. Dalam Kesusastraan (pewayangan) Garuda yang disebut Garudeya dikenal sebagai kendaraan Bathara Kresna / Dewa Wisnu sebagai dewa pencipta dan pemelihara. Selain itu di beberapa candi juga terdapat artefak bermotif Garuda seperti pada candi Prambanan, candi Belahan, Candi Kidal, Candi Kedaton dan Candi Sukuh.
Pada awalnya lambang negara kita terinspirasi oleh Garuda dalam mitologi, simbologi dan kesusastraan Indonesia (manusia burung), tapi dalam rapat Panitia Lencana Negara, Masyumi keberatan dengan konsep mitologi, sehingga direvisi dan menampakkan ciri fisik elang jawa yang dianggap burung khas Indonesia. Elang Jawa (Spizaetus Bartelsi)* dipilih menjadi burung nasional karena kemiripannya dengan Garuda dan merupakan burung terbesar dan terkuat yang melambangkan cita-cita bangsa Indonesia, selain itu elang jawa / elang rajawali sering terbang tinggi sendirian yang melukiskan Bangsa Indonesia dalam mencapai cita-citanya dengan kekuatan sendiri tanpa menggantungkan kepada negara lain. Burung Elang (Eagle) juga digunakan sebagai lambang di berbagai negara khususnya daerah Jazirah Arab, Afrika Utara, Eropa Timur dan Amerika Utara dengan mengalamai deformasi dan penambahan atribut dengan aspek histori, visi dan misi untuk mewujudkan karakter negara masing-masing. Selain alasan historisasi, dipilihnya burung jenis elang sebagai lambang negara kita juga karena kegagahan bentuknya yang sudah diketahui secara umum dan telah digunakan sebagai lambang di beberapa negara besar di dunia.

Sepenggal Sejarah Yang Terabaikan
Secara kronologis proses terciptanya Garuda Pancasila sebagai lambang negara dapat diuraikan sebagai berikut :
Tanggal 13 Juli 1945, Panda Harahap salah satu anggota Panitia Perancang UUD mengusulkan selain bendera ditentukan juga lambang negara dan disetujui. Setelah Proklamasi dibentuk Panitia Indonesia Raya yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantara dan M. Yamin sebagai sekretaris. Panitia ini bertugas menyelidiki historisasi, mitologi, simbologi, arkeologi dan kesusatraan yang berkaitan dengan bendera merah putih dan garuda sebagai sebuah lambang. Kemudian dilakukan sayembara untuk membuat rancangan lambang negara kepada berbagai organisasi seni lukis, tapi hasilnya tidak satupun rancangan hasil sayembara tersebut seperti lambang yang sekarang**. Karena berbagai gejolak politik tugas dari panitia ini tertunda, bahkan M. Yamin ditahan karena terlibat peristiwa makar 3 Juli 1946.
Semasa Republik Indonesia Serikat tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Lencana Negara dibawah koordinator Sultan Hamid II Menteri Negara Zonder Porto Folio yang bertugas merencanakan, merancang dan merumuskan lambang negara. Panitia ini diketuai oleh M.Yamin yang beranggotakan Ki Hajar Dewantara, M A Pellaupessy, M. Natsir dan RM Ng Poerbatjaraka. Setelah dilaksanakan sayembara terpilih beberapa rancangan dan yang diterima adalah rancangan Sultan Hamid II. Setelah terpilih terjadi beberapa penyempurnaan diantaranya penggantian pita merah putih yang dicengkeram menjadi pita putih yang bertuliskan Bhineka Tunggal Ika*** dan simbol sila Pancasila pada perisai atas usul M. Yamin, perubahan Garuda mitologi (burung garuda dengan tangan yang memegang perisai) ke bentuk Garuda Rajawali (burung rajawali berkalung perisai) atas saran M. Natsir, dan ditambahkannya perisai Pancasila, 17 bulu sayap, 8 bulu ekor, 45 bulu dada, perubahan kepala burung garuda yang gundul menjadi berjambul dan bentuk cakar kaki yang menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan atas saran Soekarno. Selama pembentukan lambang negara tersebut Presiden Soekarno menyarankan kepada Sultan Hamid II agar berkonsultasi kepada D. Ruhl Jr seorang pelukis berkebangsaan Perancis yang berfaham semiotik agar lambang negara menjadi lebih proporsional. Tanggal 20 Maret 1950 bentuk akhir lambang negara sekaligus skala ukuran dan tata warna diserahkan ke Presiden Soekarno. Ditengah menyelesaikan tugasnya tersebut Sultan Hamid II ditangkap karena terlibat pemberontakan APRA 23 Januari 1950 bersama Westerling. Kemudian Soekarno melakukan disposisi dan memerintahkan Dullah pelukis istana untuk melukis kembali sesuai bentuk akhir rancangan Sultan Hamid II dan akhirnya tanggal 17 Agustus 1951 Lambang Negara dimasyarakatkan pemakaiannya ke seluruh NKRI.

Dari uraian diatas diketahui bahwa Garuda Pancasila lahir dari sebuah perjalanan panjang oleh sebuah teamwork yang selama ini seakan terabaikan. Hal ini menunjukkan betapa lemahnya management sejarah kita. Seharusnya setiap individu pelaku sejarah siapapun orangnya harus mendapat prediket selayaknya tanpa disembunyikan. Memang M. Yamin terlibat peristiwa 3 Juli 1946, Sultan Hamid II dalang peristiwa APRA dan Basuki Resobowo adalah pengurus LEKRA PKI tapi tidak seharusnya mereka yang berjasa tersebut harus ditenggelamkan sejarah demi sekedar untuk menjaga stabilitas atau nama baik bahkan kepentingan dari suatu kelompok pada periode tertentu. Sudah saatnya kita tidak menilai sebuah subject per episode tapi secara global, kita harus belajar kepada sejarah secara total walaupun menyakitkan agar kita bisa mengambil hikmah didalamnya. Sudah waktunya generasi penerus kita tahu proses lahirnya Garuda Pancasila yang merupakan lambang negara sekaligus pengejahwantahan kepribadian bangsa, walaupun sekarang kesaktiannya dipertanyakan karena makin sedikit yang menghayati dan mengamalkannya seperti hampir punahnya Elang Jawa saat ini.


* Burung ini adalah burung epidemik Jawa yang berukuran 60cm, Jambul berwarna coklat kehitaman dengan putih pada ujungnya dan biasanya bertelur sebutir tiap dua tahun sekali
** Berdasarkan keterangan Ki Suratman anak Ki Hajar Dewantara, sayembara ini dimenangkan oleh Basoeki Resobowo, seorang seniman LEKRA (sempalan PKI) yang juga murid Ki Hajar Dewantara
*** Ada kesamaan dengan lambang Negara AS berupa pita melayang yang bertuliskan ‘e pluribus unum’ yang secara makna sama dengan Bhineka Tungal Ika
Selengkapnya... »»

Monday, May 11, 2009

Aceh Hingga Bali Membentang Dalam Satu Pulau


Dikisahkan dalam Serat Mahaparwa karya Empu Satya (851 S / 879 C)* dari Mamenang (Kediri), ada sebuah pulau panjang yang belum berpenghuni dan belum punya nama**. Suatu ketika para dewa yang bersemayam di kahyangan Gunung Tengguru (Himalaya) datang ke pulau tersebut dipimpin oleh Sanghyang Manikmaya (Bethara Guru) dan menamakan pulau tersebut dengan JAWA berasal dari kata DAWA (jw = panjang) sesuai dengan keadaan dari pulau tersebut yang waktu itu membentang dari Aceh hingga Bali***. Sementara itu di tanah Hindustan ada seorang brahmana yang diperintahkan Ayahnya untuk mencari pulau yang panjang (Jawa) agar bertapa disana. Brahmana tersebut adalah Prabu Ajisaka putra Prabu Iwasaka putra Empu Ramadi putra Sanghyang Ramaparwa putra Sanghyang Hening putra Sanghyang Wenang putra Sanghyang Nurasa putra Sanghyang Nurcahya (Sayyid Anwar) putra Sanghyang Sita (Nabi Sis) putra Sanghyang Ngadamo (Nabi Adam AS). Setelah beberapa lama akhirnya Ajisaka menemukan Pulau Jawa lalu mengelilingi seluruh pulau dan disepanjang perjalanannya banyak menemukan tanaman Jawawut. Akhirnya Ajisaka menamakan kembali pulau ini dengan nama Pulau JAWA diambil dari nama JAWAWUT. Setelah mengelilingi Pulau Jawa dalam 103 hari Ajisaka melakukan pembukaan hutan di Gunung Hyang (Gn. Kendeng Prabalingga) sebagai manusia pertama di Jawa dengan sebutan Empu Sengkala. Bersamaan dengan itu dimulailah Tahun Jawa / Tahun Saka dengan sengkalan Jebug Sawuk yang berarti tahun kepala satu.
Beberapa waktu kemudian dikisahkan Raja RUM di Brusah (Turki) yang bernama Sultan Galbah melakukan ekspansi pada pulau-pulau yang masih sunyi, yang diantaranya mengirim 20.000 keluarga ke Pulau Jawa. Setelah beberapa lama tinggal di pulau jawa, rombongan tersebut terserang wabah penyakit sehingga tinggal 2000 keluarga, ketika terserang wabah berikutnya tinggal 200 keluarga dan ditahun ke-4 sejak kedatangannya di pulau jawa rombongan ini tinggal 20 keluarga dan memutuskan kembali ke tanah RUM untuk melaporkan keadaan kepada Sultan. Setelah mendengar laporan tentang keadaan rombongan yang dikirim ke pulau jawa, Sultan merasa sedih lalu mengutus Wali dari golongan Bani Israel yang bernama Usman Aji**** untuk memberi tumbal pada pulau jawa. Setelah sampai di pulau jawa Usman Aji mengelilingi pulau jawa dan bertemu dengan Empu Sengkala di Gunung Hyang. Kemudian Usman Aji memasang tumbal di titik tengah dan empat arah. Keesokan harinya terdengar petir dari segala arah dan tanah jawa bergetar bergemuruh menandakan kalahnya makhluk halus oleh tumbal tersebut. Setelah 21 hari Usman Aji kembali ke tanah Rum dengan disertai oleh Empu Sangkala dengan sengkalan Gora Sirna yang bermaksud tahun ke-7.
Setelah berguru kepada Usman Aji dan bergelar Pendeta Iskak, Empu Sangkala pergi ke Hindustan menghadap Sanghyang Jagatnata (kepala para Dewa) meminta ijin untuk membawa rombongan ke pulau jawa. Dan selanjutnya Empu Sengkala membawa 20.000 keluarga yang terdiri dari bangsa Keling, Alengka/Sailon dan Siam ke pulau Jawa. Setelah berhasil membentuk masyarakat di jawa, Empu Sengkala kembali ke Rum kemudian melakukan perjalanan ke tanah Awinda (lulmat/dunia gaib yang sunyi) dan abadi di alam tersebut dengan sengkalan Anembah Geni Maletik yaitu tahun ke 32 S.
Sepeninggal Empu Sengkala, masyarakat jawa terus melakukan pembukaan daerah-daerah baru tapi belum ada raja yang mengatur sehingga disebut dengan jaman kukila (burung). Ketika masa manggarsari 102 S, diceritakan para dewa di kahyangan Hindi turun ke Jawa dengan sebutan Resi yang dipimpin oleh Resi Mahadewa Buda titisan Sanghyang Jagadnata. Para Resi ini kemudian menjadi sanjungan orang Jawa dan mulailah sistem Kerajaan di Pulau Jawa dengan raja-raja sebagai berikut :

1. Resi Mahadewa Buda titisan Sanghyang Jagatnata berkedudukan di Medang Kamulan (140 S)
2. Raja bersama putra Sanghyang Jagatnata (170 S) yaitu :
Sanghyang Sambo bergelar Sri Maharaja Maldewa berkuasa di Medang Prawa/Sumatera
Sanghyang Brahma bergelar Sri Maharaja Sunda berkuasa di Medang Gili/Pasundan
Sanghyang Indra bergelar Sri Maharaja Sakra berkuasa di Medang Gana/Mahameru
Sanghyang Wisnu bergelar Sri Maharaja Suman berkuasa di Medang Pura/Tegal
Sanghyang Bayu bergelar Sri Maharaja Bima berkuasa di Medang Gora/Bali
3. Sri Maharaja Prajapati titisan Sanghyang Brahma (193 S)
4. Sri Maharaja Balya titisan Sanghyang Siwa berkedudukan di Medang Siwanda (199 S)
5. Sri Maharaja Budwaka titisan Sanghyang Brahma (200 S)
6. Sri Maharaja Berawa titisan Sanghyang Kala berkedudukan di Medang Kamulan II (226 S)
7. Sri Maharaja Buda Kresna titisan Sanghyang Wisnu berkedudukan di Perwacarita (245 S)
8. Sri Maharaja Dewa Esa titisan Sanghyang Rudra putra Sanghyang Tunggal (263 S)
9. Sri Maharaja Kanwa titisan Sanghyang Wisnu (301 S)

Pada masa Sri Maharaja Kanwa pada tahun 329 S terjadi peristiwa penculikan Dewi Srigati putri Sri Maharaja Kanwa oleh Prabu Karungkala dari Pidana/Sumatera, tapi berhasil diselamatkan oleh Raden Sengkan yang akhirnya dijadikan menantu. Karena peristiwa penculikan ini Sri Maharaja Kanwa marah dan menghancurkan negeri Pidana dan membinasakan Prabu Kurungkala. Sebagai saudara dari Prabu Kurungkala yang telah terbunuh maka Prabu Sangkala Raja Samaskuta/Sumatera tidak lagi mengakui kekuasaan Sri Maharaja Kanwa. Akhirnya Sri Maharaja Kanwa menyerang Negeri Samaskuta tahun 338 S dan menghancurkan Prabu Sangkala. Setelah menghancurkan Negeri Samaskuta, Sri Maharaja Kanwa menuju gunung Pulosari/Banten hendak membinasakan Resi Prakampa (orangtua Prabu Kurungkala dan Sangkala), karena menurut pemahaman Sri Maharaja Kanwa Resi Prakampa dibalik semua peristiwa ini, tapi sebenarnya Resi Prakampa tidak tahu menahu dan tidak berdosa.
Karena keinginan angkara murka dari Sri Maharaja Kanwa itu, maka Sanghyang Wisnu muksa dari Sri Maharaja Kanwa dan digantikan oleh Sanghayang Kala. Setelah menemukan Resi Prakampa, Sri Maharaja Kanwa membunuh Sang Resi yang tidak bersalah. Karena kesaktian Resi Prakampa yang telah dianiaya oleh Sri Maharaja Kanwa, maka Gunung Kapi/Krakatau meletus diiringi dengan bencana air bah, hujan lebat dan angin taufan. Gunung Kapi runtuh masuk ke bumi, air laut menggenangi daratan dari Gunung Gede/Bogor sampai ke Gunung Rajabasa/Lampung. Setelah surut Pulau Jawa terbelah menjadi dua, dibagian barat dinamakan Pulau Sumatera dan dibagian timur masih disebut dengan pulau Jawa. Sebagian Gunung Krakatau tenggelam dan menjadi Selat Sunda dan Negeri Samaskuta amblas ke bumi menjadi danau Singkarak di Padang.


* S = Saka / Tahun Jawa C = Crhistmas / Tahun Masehi
** Dalam The History of Java disebut dengan NUSA KENDANG (PULAU RAKSASA)
*** Pulau Jawa membentang dari Sumatera, Jawa, Madura dan Bali
**** Lebih terkenal dengan nama Syaikh SUBAKIR

Selengkapnya... »»

Sunday, January 18, 2009

Pendidikan Gerilya SUDIRMAN Dimulai Sejak Dalam Kandungan


“Oh ngger, dadio pandadahmu”, Inilah yang diucapkan Bu Siyem sambil mengelus-elus kandungannya dengan menahan tangis ditengah hujan badai, ketika menempuh perjalanan berjalan kaki sejauh 145 km antara Kalibagor dan Rembang, untuk menuruti keinginan bayi (Nyidam-nya) Bu Siyem yang ingin bertemu dengan sang kakak, Ibu Turidawati. Bayi dalam kandungan ini tak lain adalah calon Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman. Hal ini membuktikan bahwa, sejak dalam kandungan sang Jenderal sudah ditempa dengan kondisi gerilya, yang pada akhirnya berkat kepemimpinan beliau, TNI berhasil membuat mantan jago-jago Perang Dunia II angkat topi dan pada akhirnya angkat kaki dari bumi pertiwi untuk selama-lamanya.

Masa Pendidikan
Pendidikan Formal Sudirman dimulai dengan masuk HIS Gobernemen, kemudian pindah ke Taman Siswa dan dilanjutkan ke MULO Wiworotomo*. Selama di Wiworotomo, Sudirman aktif dalam Ikatan Pelajar Wiworotomo, Hizboel Wathon, Pemuda Muhammadiyah dan Kesebelasan “Banteng Muda”. Dalam kesebelasan ini Sudirman dikenal sebagai seorang back yang paling tangguh dalam menjaga lini pertahanan. Jiwa back sejati ini beliau wujudkan kembali dengan menjaga sepenuh hati Ibu Pertiwi dari rongrongan Kolonialisme. Kematangan jiwa Sudirman mulai terbentuk di Perguruan Wiworotomo ini melalui guru-guru beliau yang diantaranya adalah R. Sumoyo (tokoh Budi Utomo) dalam bidang nasionalisme, R. Suwaryo (alumni AKMIL Belanda) dalam bidang kedisiplinan, kepanduan & kemiliteran dan Oleh R. M. Kholil (tokoh Muhammadiyah) dalam bidang keagamaan. Selepas dari MULO, Sudirman menjadi guru di HIS Muhammadiyah dan akhirnya menjadi Kepala Sekolah. Selain dikenal sebagai guru, Sudirman juga dikenal sebagai juru dakwah yang bergaya persuasif dan kultural dengan dakwah yang bertemakan tentang Ke-Tauhidan dan kesadaran dalam berbangsa dan bernegara. Tahun 1936, Sudirman menikah dengan Alfiyah yang teman sesama aktivis.


Karier Politik dan Militer
Dengan pecahnya Perang Pasifik, memaksa Belanda membentuk sistem pertahanan oleh bumiputra yang salah satunya adalah LBD (Luch Bischermen Diens) sebuah penjagaan bahaya udara, dan Sudirman dipilih menjadi ketua LBD Cilacap, karir Sudirman kemudian berlanjut menjadi anggota Syu Sangi kai (semacam DPRD) dan Jawa Hokokai ketika Jepang berkuasa. Selanjutnya Tahun 1943 Jepang terjepit dan dengan terpaksa membangun pertahanan rakyat yang diantaranya adalah PETA dan Sudirman menjadi salah satu anggotanya dengan pangkat Daidanco (komandan batalyon). Dengan semakin meningkatnya kesadaran Nasionalisme PETA, maka jepang berniat menyingkirkan tokoh-tokoh PETA, termasuk Sudirman tetapi gagal. Setelah lolos dari upaya pembunuhan, Sudirman menuju ke Jakarta dan mengetahui jika Indonesia sudah merdeka, kemudian bertemu dengan Presiden Sukarno dan ditawari memimpin perlawanan di Jakarta, tapi Sudirman lebih memilih di Jawa Tengah.
Sepulang dari Jakarta, Sudirman dipilih menjadi ketua umum BKR Banyumas kemudian menjadi Komandan TKR Divisi V Purwokerto setelah keluar maklumat tentang pembentukan TKR tanggal 5 Oktober 1945 untuk menyatukan badan-badan ketentaran. Karena Supriyadi yang ditunjuk sebagai Pimpinan tertinggi TKR tidak muncul, maka diadakan konferensi besar TKR di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Urip Sumoharjo sebagai Kepala Staf Umum TKR untuk memilih Panglima Besar, Kepala Staf Umum dan Menteri Pertahanan, yang calon-calonnya adalah : Nazir, Sultan Hamengkubuwono IX, Wijoyo Kusumo, GPH. Purwonegoro, Urip Sumoharjo, Sudirman, Suryadarma dan M. Pardi. Setelah melalui beberapa tahap maka terpilihlah Sudirman sebagai Panglima Besar, Urip Sumoharjo sebagai Kepala Staf Umum dan Sultan Hamengkubuwono IX menjadi menteri pertahanan.
Dengan terpilihnya Sudirman diusia yang masih muda yaitu 29 tahun, banyak pihak yang meragukan kemampuan beliau, termasuk Presiden Sukarno. Tapi keraguan ini dijawab Sudirman dengan memenangkan pertempuran Ambarawa 15 Desember 1945. Akhirnya tanggal 18 Desember 1945 Sudirman dilantik secara resmi sebagai panglima tertinggi TKR oleh Presiden Sukarno dengan pangkat Jenderal. Dalam perkembangan selanjutnya Sudirman mendapat pertentangan dari Amir Syarifuddin sebagai menteri pertahanan yang mengakomodir kelaskaran sosialis komunis sehingga terjadi dualisme kepemimpinan dalam angkatan bersenjata. Untuk menghindari perpecahan lebih lanjut maka tanggal 3 Juni 1947 dibentuklah TNI sebagai satu-satunya wadah kekuatan bersenjata dengan Sudirman sebagai Panglima Besar.
Sebagai Panglima Besar Sudirman tidak melupakan dan tetap menjaga hubungan harmonis keluarga dan masyarakat, hal ini dibuktikan dengan adanya waktu-waktu tertentu untuk berkumpul bersama keluarga, tetap mengikuti jamaah pengajian malam selasa di masjid Kauman, dan selalu menulis surat dan mengirimi ibunya krecek di Purwokerto.

Masa Revolusi Fisik
Dengan kalahnya Jepang pada PD II, maka Pihak Sekutu atas nama NICA berniat melucuti pasukan Jepang di Indonesia. Tapi kenyataannya NICA yang diboncengi Belanda berniat ingin menguasai kembali Indonesia. Tentu saja hal ini mendapat perlawanan dari rakyat Indonesia sehingga terjadi berbagai pertempuran hebat diantaranya Pertempuran Ambarawa, Surabaya 10 November, Medan Area dan Bandung Lautan Api. Dengan semakin gentingnya suasana di Jakarta maka memasuki tahun 1946 Ibu Kota RI pindah ke Yogyakarta. Untuk mengatasi keadaan ini Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri memilih penyelesaian melalui perundingan yang akhirnya disetujui persetujuan Linggarjati yang salah satu hasilnya Belanda mengakui RI atas wilayah Jawa, Madura dan Sumatera. Tapi dikemudian hari Belanda mengkhianati dengan melakukan Agresi Militer Pertama tanggal 21 Juli 1947 yang dijawab Sudirman dengan memerintahkan TNI untuk melakukan pertahanan rakyat semesta melalui gerilya. Agresi Belanda ini mendapat kecaman dari DK PBB dan menyerukan untuk gencatan senjata dan melakukan perundingan, yang akhirnya terlaksana Perjanjian Renville tanggal 17 Januari 1948 dengan salah satu hasilnya adalah penarikan TNI dari Garis Demarkasi Van Mook yang telah direbut Belanda selama agresinya yang pertama.
Sebagai Panglima Besar TNI, Sudirman berpedoman bahwa tentara adalah pendukung politik negara**. Hal ini dibuktikan dengan dilaksanakannya setiap kebijakan pemerintah walaupun merugikan TNI, seperti pada hasil perundingan Linggarjati dan Renville. Hal ini beliau lakukan untuk menggagalkan politik Belanda yang ingin memecah belah antara Pemerintah dan Militer demi terwujudnya Indonesia yang merdeka dan berdaulat penuh. Ditengah perjuangan menghadapi Belanda, Sudirman dipaksa harus berhadapan dengan kawan sendiri yaitu memadamkan pemberontakan PKI dengan Front Demokrasi Rakyat-nya dibawah pimpinan Muso dan Amir Syarifuddin bulan september 1948 di Blitar. Karena beban dan aktivitas Sudirman yang luar biasa sebagai Panglima Besar dimasa revolusi, beliau harus menjalani operasi phrencus-excerese (pengistirahatan paru-paru sebelah kanan) karena terkena penyakit TBC dan dirawat di RS Panti rapih.
Ditengah gencatan senjata, intelejen Indonesia melaporkan bahwa Belanda berniat mengingkari hasil perundingan Renville dan melakukan konsentrasi pasukan besar-besaran untuk melakukan serangan. Menaggapi laporan tersebut Sudirman memerintahkan Kolonel A.H. Nasution sebagai wakil Panglima Besar untuk menyusun konsep dan melakukan latihan Perang Rakyat Semesta dengan sistem gerilya. Akhirnya tanggal 19 Desember 1948 Belanda benar-benar mengingkari hasil perundingan Renville dan melakukan Agresi Militernya yang kedua. Dalam kondisi sakit, Sudirman dengan didampingi dokter pribadinya dr. Suwondo, pergi ke istana kepresidenan mengajak para pemimpin negara untuk pergi ke luar kota guna melanjutkan perjuangan. Tapi para pemimpin memutuskan tetap tinggal di kota dan memerintahkan Syafrudddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera Barat dan L.N Palar di New Delhi jika PDRI Sumatera Barat gagal. Akhirnya Presiden, Wakil Presiden dan Perdana Menteri ditangkap dan dibuang ke Sumatera, sementara Sudirman tidak mau menyerah dan memimpin perang dengan sistem gerilya.

Perang Gerilya
Dari segi taktik Sudirman berhasil menciptakan perlawanan yang cukup memusingkan musuh yaitu dengan berpindah-pindah markas dan sesekali mengadakan serangan untuk menghambat laju musuh kemudian lari ke hutan atau ke tempat yang sulit dikenali sebagai tentara. Perjalanan Gerilya Sudirman dimulai dari Yogyakarta, Wonogiri, Ponorogo, Trenggalek, Kediri, Pacitan dan kembali ke Yogyakarta. Berikut adalah kejadian-kejadian selama Jenderal Sudirman (yang memakai nama samaran ‘Pak De’), memimpin Perang Gerilya :
Ketika sampai di Ponorogo, Sudirman diberi Tongkat Kyai Mahfudz salah satu tokoh terkenal di Ponorogo sambil berucap : “Mudah-mudahan apa yang saya berikan ini akan diizinkanTuhan menyelamatkan rombongan dari Kesukaran”
Di daerah Bendorejo Trenggalek tanggal 23 Desember 1948 rombongan Sudirman ditahan oleh Pasukan TNI Yon 102 yang mengira sebagai mata-mata musuh, dan baru dibebaskan setelah Mayor Zainal Fanani sebagai pimpinan didatangkan dan mengetahui bahwa rombongan tersebut adalah rombongan Jenderal Sudirman
Di Desa Karangnongko Kediri tanggal 24 Desember 1948, terjadi pengecohan terhadap Belanda dengan penyamaran oleh Heru Kesser dengan memakai mantel beliau dan berhasil.
Di Desa Jambu Ponorogo tanggal 9 Januari 1949 , Pak Dirman mengadakan pertemuan dengan beberapa menteri membahas pemerintahan militer dan undang-undang darurat.
Tanggal 21 Desember 1949 terjadi pertempuran sengit di salah satu hutan di Ponorogo, sehingga Sudirman ditinggalkan pengawalnya, tetapi berhasil selamat karena Sudirman yang biasanya ditandu tiba-tiba bisa berjalan. Setelah itu selama 5 hari rombongan tidak makan nasi dan hanya makan buah-buahan dan dedauan yang ada di hutan. Akhirnya rombongan terhindar dari kelaparan setelah melakukan barter 9 kg jagung dengan sarung Pak Dirman.
Tanggal 18 Februari 1949 rombongan sampai di Dukuh Sobo Pacitan yang akhirnya dijadikan Markas Besar karena lokasinya yang strategis, dan samaran Pak Dirman diganti menjadi Abdullah Lelonoputro atau Satrio Lelonoputro. Dari tempat ini Sudirman dapat memantau perkembangan Politik di Tanah Air, termasuk ikut mengorganisir Serangan 1 Maret 1949 yang dipimpin Letkol. Soeharto di Kota Yogyakarta. Selain itu Sudirman juga dapat berkomunikasi melalui pemancar radio untuk berhubungan dengan PDRI di Sumatera, Pak Simatupang di Dungkrong, Pak Nasution di Playen, Pak Sungkono di Bajulan, bahkan ke New Delhi.
Dengan berhasilnya serangan 1 Maret 1949 mempengaruhi posisi Belanda dan usaha perudingan kembali dilakukan. Tanggal 7 Mei 1949 Perjanjian Roem Royen disepakati dengan hasil kedua belah pihak mengakhiri permusuhan dan pemimpin RI dikembalikan ke Yogyakarta. Dengan adanya perjanjian Roem Royen ini diharapkan pula Jenderal Sudirman untuk kembali ke Yogyakarta, tapi Sudirman menolak sebagai bentuk protes kepada Pemerintah Pusat dan ingin terus melanjutkan perjuangan melalui angkat senjata. Dengan adanya desakan dan permohonan dari berbagai pihak termasuk Sri Sultan Hamengkubuwono dan Kolonel Gatot Subroto, Jenderal Sudirman bersedia kembali ke Yogyakarta. Akhirnya tanggal 10 Juli 1949 Jenderal Sudirman memasuki ibu kota RI Yogyakarta dengan kondisi sebagaimana adanya sewaktu gerilya. Selanjutnya Jenderal Sudirman menuju Gedung Agung dan disambut oleh Presiden Sukarno dan pejabat tinggi lainnya, baru sore harinya beliau menemui keluarga yang sudah lama ditingggalkannya.

Masa Damai
Sekembalinya Sudirman ke Yogyakarta terjadi isu bahwa hubungan Presiden Sukarno dan Jenderal Sudirman kurang baik, karena sama-sama kecewa terhadap sikap masing-masing semasa revolusi, tapi isu ini tidak terbukti. Tanggal 19 – 22 Juli 1949 terjadi Konferensi Inter Indonesia di Yogyakarta untuk pembentukan RIS yang kemudian dilanjutkan dengan Konferensi Meja Bundar di Den Haag tanggal 23 Agustus 1949 – 2 November 1949 dengan hasil negara RIS diakui sebagai negara merdeka dan berdaulat. Tanggal 17 Desember 1949 Sukarno dilantik sebagai Presiden dan Moh. Hatta sebagai Perdana Menteri serta Sudirman diangkat menjadi Panglima Besar APRIS. Dan Tanggal 27 Desember 1949 diadakan serah terima kedaulatan dan berakhirlah revolusi fisik dan Ibu kota negara kemali ke Jakarta.
Setelah berakhirnya revolusi fisik ini Jenderal Sudirman diistirahatkan di sanatorium pakem Yogyakarta kemudian dipindah ke Badaan Magelang. Dan akhirnya tanggal 29 Januari 1950 Jenderal Sudirman menghembuskan nafas yang terakhir diusia 38 tahun. Pada hari itu Moh. Hatta selaku Perdana Menteri atas nama pemerintah menyatakan sebagai hari berkabung Nasional dan dikibarkan bendera setengah tiang. Keesokan harinya tanggal 30 Januari 1950 Jenazah Jenderal Sudirman semayamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta dengan dihadiri oleh Sri Sultan Hamengkubuwono (Menteri Pertahanan), M. Natsir (Menteri Penerangan), Mayjen Suharjo (Wakil APRIS), Dr. Leimena (Wakil RIS), Mr. Asaat(Wakil RI), KRT Kamaludiningrat (Imam Besar MASJID Agung Kauman), Kolonel Gatot Subroto dan Letkol A. Yani. Selain tokoh-tokoh diatas hadir juga Komandan Divisi Tentara Belanda Mayjed Molliger yang menjadi (musuh Jenderal Sudirman saat perang gerilya) dan Mayor Ansidei atase Militer dari Perancis untuk mewakili UNCI

* Sudirman Pindah ke Perguruan Wiworotomo dikarenakan Perguruan Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara itu ditutup oleh Belanda melalui Wilde Scholen Ordonantie (UU sekolah liar)
** Tentara Tidak Berpolitik, Tidak Memihak Kepada Golongan, atau Partai Politik Tertentu, POLITIK NEGARA ADALAH POLITIK TENTARA
Selengkapnya... »»

Saturday, January 10, 2009

Mahakarya Jawa Yang Lahir Bukan Dari Rahim Jawa


I believe is no one possessed of more information respecting Java than myself . . ., tidak salah apa yang diucapkan oleh Thomas Stamford Raffles (1781-1826) sekitar 2 abad yang lalu, tentang masterpiece-nya yang satu ini “THE HISTORY OF JAVA”. Karena buku yang yang penulisannya diawali di Cisarua Bogor ini merupakan pelopor kajian tentang Jawa dan sumber gagasan Barat mengenai Jawa serta sebagai titik awal pengkajian Wilayah Timur sekaligus mempublikasikan tentang JAWA pada dunia barat waktu itu.
Raffles yang lahir diatas geladak Kapal Ann ketika berlabuh dilepas pantai Jamaika adalah anak seorang Koki dari Kapal tersebut. Raffless muda yang dikenal tekun dan rajin ini kemudian menjadi juru tulis di sebuah perusahaan Hindia Timur yang kemudian dipromosikan menjadi asisten sekretaris untuk wilayah Kepulauan Melayu. Raffles datang ke Jawa dengan expedisi militer dan mengusir Belanda bersamaan dengan Perancis menguasai Kerajaan Belanda dalam perang Napoleon, dan menjabat sebagai Gubernur Jenderal di jawa pada periode 1811-1816.
Selama di Jawa Raffles mengubah sistem tanam paksa (Culture Stelsel) tinggalan Belanda menjadi sistem Pajak Bumi (Landrente) yang disesuaikan dengan hukum adat Jawa serta mengatur sistem berkendara memakai jalur kiri yang dipakai hingga sekarang. Setelah perang Napoleon di Eropa berakhir, diberlakukan Konvensi London yang salah satu isinya Jawa dikembalikan ke Belanda. Dengan sangat terpaksa Raffles melepaskan Jawa dan kembali ke London bersamaan dengan penyakit tropisnya yang semakin parah dan harus berobat di sana. Tahun 1818 Raffles dikirim kembali ke timur dan dipromosikan menjadi Gubernur Bengkulu, dimana saat dia berkuasa banyak melakukan penelitian flora dan fauna yang menjadi cikal bakal Raffles Museum. Setahun berkuasa di Sumatera Raffles menggagas proyek spektakuler “Singapura” sebagai wujud dari kekecewaan atas lepasnya Jawa, dan bersumpah akan membentuk koloni baru yang meskipun kecil akan jauh lebih maju dari Pulau Jawa dan akhirnya terbukti, hingga sekarang menjadi salah satu macan Asia. Pada tahun 1823 karena gejolak Politik di Eropa sekali lagi dengan sangat terpaksa Raffles untuk kedua kalinya meninggalkan Kepulauan Hindia Timur yang kali ini adalah Sumatera setelah berhasil mewujudkan obsesinya di Singapura dengan mendirikan Raffles Museum yang mendokumentasikan seluruh flora dan fauna khas Jawa dan Sumatra. Sebagai wujud dari tertambatnya hati Raffles atas Jawa dan Sumatra, sekembalinya ke london dia mendirikan London Zoo dan Zoological Society of London di Inggris dan memberi nama sejumlah binatang dan tumbuhan memakai nama Sumatra dan dirinya sendiri (Rafflesi), diantaranya Harimau Sumatra dan Rafflesia Arnoldi. Sir Thomas Stamford Raffles meninggal dunia sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-45 karena menderita apoplexy.
Dalam buku setebal xxxvi + 904 hal ini, Raffles menuangkan setiap aspek kehidupan Jawa, diantaranya : etika, sastra, puisi, alat musik, drama, populasi, sejarah, agama, peninggalan kuno dan sistem militer di Jawa. Diawali dengan Pengantar yang berisi tentang kedatangan Portugis ke Jawa sampai pemerintahan Belanda pada masa Marshal Deandles (xvii-xxxiii). Dilanjutkan dengan pemaparan Pulau jawa dari sisi Geografis yang beisi tentang luas, bentuk, pembagian wilayah, pegunungan, sungai, danau, musim, logam, kondisi tanah, flora dan fauna yang ada di pulau Jawa. Diceritakan pula tentang sejarah peradaban Jawa dari awal adanya tradisi sampai munculnya ajaran Islam hingga kedatangan Angkatan Bersenjata Inggris di Jawa tahun 1811 M (hal. 430-590). Kata Jawa sendiri diambil dari nama Jawawut sejenis biji-bijian yang ditemukan oleh Aji Saka sewaktu dia mendarat di pulau Jawa, yang waktu itu dikenal dengan dengan nama Nusa Kendang, sebuah pulau yang menjadi hunian para raksasa. Peristiwa ini ditandai dengan Chandra Sengkala “nir abu tanpo jalan” yang berarti “hampa debu tidak ada yang lain hanya laki-laki” yang mengisyaratkan angka 0001, dengan ini maka dimulailah Tahun Jawa atau lebih dikenal dengan nama Tahun Aji Saka atau Tahun Saka.
Dalam Kebudayaan, masyarakat Jawa menggunakan huruf Jawa yang terdiri dari 20 aksara & 20 pasangan yang berkarakter mirip dengan huruf India, sebagaimana yang diajarkan dalam muatan lokal pada kurikulum Pendidikan Nasional kita hingga saat ini. Untuk Puisi (Tembang) dibedakan menjadi 3 tingkatan yaitu: sekar kawi, sekar sepoh dan sekar gangsal. Diantara tembang-tembang tersebut, Sekar Gangsal-lah yang masih populer hingga saat ini, yang diantaranya adalah : Asmarandhana, Dhandanggulo, Sinom, Pangkur, Durmo, Kinanthi & Mijil (hal. 228-292). Sedangkan untuk sekar kawi mengisahkan tentang berbagai cerita masyarakat, diantaranya adalah Legenda tentang Bharatayudha dan Ramayana (hal. 299-337). Dalam Astronomi Jawa dikenal istilah-istilah Tahun Aji Saka, Pasaran (Pahing, Pon, Wage, Kliwon & Legi), Wuku , Mangsa dan Windu. Masyarakat Jawa waktu itu sudah mengenal Poligami dan hal ini diperbolehkan secara hukum ataupun agama, meskipun tidak banyak yang mempraktekkannya. Hukum yang membolehkan Poligami hanya dinikmati oleh kalangan tertentu saja, sedangkan rakyat kebanyakan hanya memiliki satu isteri. Semua petinggi mulai dari mangkubumi ke bawah beristeri 2 dan berselir sampai 4 sedangkan raja beristri 4 dan berselir 8-10. Karena hal inilah maka pejabat waktu itu mempunyai banyak anak, yang diantaranya adalah Bupati Tuban yang mempunyai 68 anak (hal. 45).
Dalam bab IX Raffles memaparkan tentang peninggalan – peninggalan kuno di tanah Jawa diantaranya : Candi Prambanan, Candi Borobudur, Candi Brahu, Candi Singasari, Prasasti, Mata Uang, reruntuhan dari kerajaan Medang Kamulan, Majapahit dan Pajajaran. Diakhir bukunya Raffles menyertakan lampiran-lampiran yang memaparkan tentang : Batavia, Pulau Sulawesi, Pulau Bali, Terjemahan serat Surya Alam, Terjemahan Serat Manik Maya, Terjemahan berbagai prasasti Jawa, Perdagangan dengan Jepang, Perbandingan Kosakata antara bahasa Melayu, Jawa, Madura, Bali dan Lampung serta ditutup dengan Memorandum mengenai satuan yang berlaku pada waktu itu (hal. 627-902). Tidak lupa Rafless juga menyertakan data Populasi Penduduk Jawa dan Madura berdasar sensus Pemerintah inggris di Tahun 1815 (hal. 39)
Mungkin semua inilah yang menyebabkan mengapa Sir Thomas Stamford Raffles menangis saat meninggalkan pulau Jawa dan Pulau Sumatra, lalu bagaimana dengan kita yang notabennya dilahirkan dari Rahim Pulau Jawa Sendiri . . . ?
Selengkapnya... »»