Sunday, January 18, 2009

Pendidikan Gerilya SUDIRMAN Dimulai Sejak Dalam Kandungan


“Oh ngger, dadio pandadahmu”, Inilah yang diucapkan Bu Siyem sambil mengelus-elus kandungannya dengan menahan tangis ditengah hujan badai, ketika menempuh perjalanan berjalan kaki sejauh 145 km antara Kalibagor dan Rembang, untuk menuruti keinginan bayi (Nyidam-nya) Bu Siyem yang ingin bertemu dengan sang kakak, Ibu Turidawati. Bayi dalam kandungan ini tak lain adalah calon Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman. Hal ini membuktikan bahwa, sejak dalam kandungan sang Jenderal sudah ditempa dengan kondisi gerilya, yang pada akhirnya berkat kepemimpinan beliau, TNI berhasil membuat mantan jago-jago Perang Dunia II angkat topi dan pada akhirnya angkat kaki dari bumi pertiwi untuk selama-lamanya.

Masa Pendidikan
Pendidikan Formal Sudirman dimulai dengan masuk HIS Gobernemen, kemudian pindah ke Taman Siswa dan dilanjutkan ke MULO Wiworotomo*. Selama di Wiworotomo, Sudirman aktif dalam Ikatan Pelajar Wiworotomo, Hizboel Wathon, Pemuda Muhammadiyah dan Kesebelasan “Banteng Muda”. Dalam kesebelasan ini Sudirman dikenal sebagai seorang back yang paling tangguh dalam menjaga lini pertahanan. Jiwa back sejati ini beliau wujudkan kembali dengan menjaga sepenuh hati Ibu Pertiwi dari rongrongan Kolonialisme. Kematangan jiwa Sudirman mulai terbentuk di Perguruan Wiworotomo ini melalui guru-guru beliau yang diantaranya adalah R. Sumoyo (tokoh Budi Utomo) dalam bidang nasionalisme, R. Suwaryo (alumni AKMIL Belanda) dalam bidang kedisiplinan, kepanduan & kemiliteran dan Oleh R. M. Kholil (tokoh Muhammadiyah) dalam bidang keagamaan. Selepas dari MULO, Sudirman menjadi guru di HIS Muhammadiyah dan akhirnya menjadi Kepala Sekolah. Selain dikenal sebagai guru, Sudirman juga dikenal sebagai juru dakwah yang bergaya persuasif dan kultural dengan dakwah yang bertemakan tentang Ke-Tauhidan dan kesadaran dalam berbangsa dan bernegara. Tahun 1936, Sudirman menikah dengan Alfiyah yang teman sesama aktivis.


Karier Politik dan Militer
Dengan pecahnya Perang Pasifik, memaksa Belanda membentuk sistem pertahanan oleh bumiputra yang salah satunya adalah LBD (Luch Bischermen Diens) sebuah penjagaan bahaya udara, dan Sudirman dipilih menjadi ketua LBD Cilacap, karir Sudirman kemudian berlanjut menjadi anggota Syu Sangi kai (semacam DPRD) dan Jawa Hokokai ketika Jepang berkuasa. Selanjutnya Tahun 1943 Jepang terjepit dan dengan terpaksa membangun pertahanan rakyat yang diantaranya adalah PETA dan Sudirman menjadi salah satu anggotanya dengan pangkat Daidanco (komandan batalyon). Dengan semakin meningkatnya kesadaran Nasionalisme PETA, maka jepang berniat menyingkirkan tokoh-tokoh PETA, termasuk Sudirman tetapi gagal. Setelah lolos dari upaya pembunuhan, Sudirman menuju ke Jakarta dan mengetahui jika Indonesia sudah merdeka, kemudian bertemu dengan Presiden Sukarno dan ditawari memimpin perlawanan di Jakarta, tapi Sudirman lebih memilih di Jawa Tengah.
Sepulang dari Jakarta, Sudirman dipilih menjadi ketua umum BKR Banyumas kemudian menjadi Komandan TKR Divisi V Purwokerto setelah keluar maklumat tentang pembentukan TKR tanggal 5 Oktober 1945 untuk menyatukan badan-badan ketentaran. Karena Supriyadi yang ditunjuk sebagai Pimpinan tertinggi TKR tidak muncul, maka diadakan konferensi besar TKR di Yogyakarta, yang dipimpin oleh Urip Sumoharjo sebagai Kepala Staf Umum TKR untuk memilih Panglima Besar, Kepala Staf Umum dan Menteri Pertahanan, yang calon-calonnya adalah : Nazir, Sultan Hamengkubuwono IX, Wijoyo Kusumo, GPH. Purwonegoro, Urip Sumoharjo, Sudirman, Suryadarma dan M. Pardi. Setelah melalui beberapa tahap maka terpilihlah Sudirman sebagai Panglima Besar, Urip Sumoharjo sebagai Kepala Staf Umum dan Sultan Hamengkubuwono IX menjadi menteri pertahanan.
Dengan terpilihnya Sudirman diusia yang masih muda yaitu 29 tahun, banyak pihak yang meragukan kemampuan beliau, termasuk Presiden Sukarno. Tapi keraguan ini dijawab Sudirman dengan memenangkan pertempuran Ambarawa 15 Desember 1945. Akhirnya tanggal 18 Desember 1945 Sudirman dilantik secara resmi sebagai panglima tertinggi TKR oleh Presiden Sukarno dengan pangkat Jenderal. Dalam perkembangan selanjutnya Sudirman mendapat pertentangan dari Amir Syarifuddin sebagai menteri pertahanan yang mengakomodir kelaskaran sosialis komunis sehingga terjadi dualisme kepemimpinan dalam angkatan bersenjata. Untuk menghindari perpecahan lebih lanjut maka tanggal 3 Juni 1947 dibentuklah TNI sebagai satu-satunya wadah kekuatan bersenjata dengan Sudirman sebagai Panglima Besar.
Sebagai Panglima Besar Sudirman tidak melupakan dan tetap menjaga hubungan harmonis keluarga dan masyarakat, hal ini dibuktikan dengan adanya waktu-waktu tertentu untuk berkumpul bersama keluarga, tetap mengikuti jamaah pengajian malam selasa di masjid Kauman, dan selalu menulis surat dan mengirimi ibunya krecek di Purwokerto.

Masa Revolusi Fisik
Dengan kalahnya Jepang pada PD II, maka Pihak Sekutu atas nama NICA berniat melucuti pasukan Jepang di Indonesia. Tapi kenyataannya NICA yang diboncengi Belanda berniat ingin menguasai kembali Indonesia. Tentu saja hal ini mendapat perlawanan dari rakyat Indonesia sehingga terjadi berbagai pertempuran hebat diantaranya Pertempuran Ambarawa, Surabaya 10 November, Medan Area dan Bandung Lautan Api. Dengan semakin gentingnya suasana di Jakarta maka memasuki tahun 1946 Ibu Kota RI pindah ke Yogyakarta. Untuk mengatasi keadaan ini Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri memilih penyelesaian melalui perundingan yang akhirnya disetujui persetujuan Linggarjati yang salah satu hasilnya Belanda mengakui RI atas wilayah Jawa, Madura dan Sumatera. Tapi dikemudian hari Belanda mengkhianati dengan melakukan Agresi Militer Pertama tanggal 21 Juli 1947 yang dijawab Sudirman dengan memerintahkan TNI untuk melakukan pertahanan rakyat semesta melalui gerilya. Agresi Belanda ini mendapat kecaman dari DK PBB dan menyerukan untuk gencatan senjata dan melakukan perundingan, yang akhirnya terlaksana Perjanjian Renville tanggal 17 Januari 1948 dengan salah satu hasilnya adalah penarikan TNI dari Garis Demarkasi Van Mook yang telah direbut Belanda selama agresinya yang pertama.
Sebagai Panglima Besar TNI, Sudirman berpedoman bahwa tentara adalah pendukung politik negara**. Hal ini dibuktikan dengan dilaksanakannya setiap kebijakan pemerintah walaupun merugikan TNI, seperti pada hasil perundingan Linggarjati dan Renville. Hal ini beliau lakukan untuk menggagalkan politik Belanda yang ingin memecah belah antara Pemerintah dan Militer demi terwujudnya Indonesia yang merdeka dan berdaulat penuh. Ditengah perjuangan menghadapi Belanda, Sudirman dipaksa harus berhadapan dengan kawan sendiri yaitu memadamkan pemberontakan PKI dengan Front Demokrasi Rakyat-nya dibawah pimpinan Muso dan Amir Syarifuddin bulan september 1948 di Blitar. Karena beban dan aktivitas Sudirman yang luar biasa sebagai Panglima Besar dimasa revolusi, beliau harus menjalani operasi phrencus-excerese (pengistirahatan paru-paru sebelah kanan) karena terkena penyakit TBC dan dirawat di RS Panti rapih.
Ditengah gencatan senjata, intelejen Indonesia melaporkan bahwa Belanda berniat mengingkari hasil perundingan Renville dan melakukan konsentrasi pasukan besar-besaran untuk melakukan serangan. Menaggapi laporan tersebut Sudirman memerintahkan Kolonel A.H. Nasution sebagai wakil Panglima Besar untuk menyusun konsep dan melakukan latihan Perang Rakyat Semesta dengan sistem gerilya. Akhirnya tanggal 19 Desember 1948 Belanda benar-benar mengingkari hasil perundingan Renville dan melakukan Agresi Militernya yang kedua. Dalam kondisi sakit, Sudirman dengan didampingi dokter pribadinya dr. Suwondo, pergi ke istana kepresidenan mengajak para pemimpin negara untuk pergi ke luar kota guna melanjutkan perjuangan. Tapi para pemimpin memutuskan tetap tinggal di kota dan memerintahkan Syafrudddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera Barat dan L.N Palar di New Delhi jika PDRI Sumatera Barat gagal. Akhirnya Presiden, Wakil Presiden dan Perdana Menteri ditangkap dan dibuang ke Sumatera, sementara Sudirman tidak mau menyerah dan memimpin perang dengan sistem gerilya.

Perang Gerilya
Dari segi taktik Sudirman berhasil menciptakan perlawanan yang cukup memusingkan musuh yaitu dengan berpindah-pindah markas dan sesekali mengadakan serangan untuk menghambat laju musuh kemudian lari ke hutan atau ke tempat yang sulit dikenali sebagai tentara. Perjalanan Gerilya Sudirman dimulai dari Yogyakarta, Wonogiri, Ponorogo, Trenggalek, Kediri, Pacitan dan kembali ke Yogyakarta. Berikut adalah kejadian-kejadian selama Jenderal Sudirman (yang memakai nama samaran ‘Pak De’), memimpin Perang Gerilya :
Ketika sampai di Ponorogo, Sudirman diberi Tongkat Kyai Mahfudz salah satu tokoh terkenal di Ponorogo sambil berucap : “Mudah-mudahan apa yang saya berikan ini akan diizinkanTuhan menyelamatkan rombongan dari Kesukaran”
Di daerah Bendorejo Trenggalek tanggal 23 Desember 1948 rombongan Sudirman ditahan oleh Pasukan TNI Yon 102 yang mengira sebagai mata-mata musuh, dan baru dibebaskan setelah Mayor Zainal Fanani sebagai pimpinan didatangkan dan mengetahui bahwa rombongan tersebut adalah rombongan Jenderal Sudirman
Di Desa Karangnongko Kediri tanggal 24 Desember 1948, terjadi pengecohan terhadap Belanda dengan penyamaran oleh Heru Kesser dengan memakai mantel beliau dan berhasil.
Di Desa Jambu Ponorogo tanggal 9 Januari 1949 , Pak Dirman mengadakan pertemuan dengan beberapa menteri membahas pemerintahan militer dan undang-undang darurat.
Tanggal 21 Desember 1949 terjadi pertempuran sengit di salah satu hutan di Ponorogo, sehingga Sudirman ditinggalkan pengawalnya, tetapi berhasil selamat karena Sudirman yang biasanya ditandu tiba-tiba bisa berjalan. Setelah itu selama 5 hari rombongan tidak makan nasi dan hanya makan buah-buahan dan dedauan yang ada di hutan. Akhirnya rombongan terhindar dari kelaparan setelah melakukan barter 9 kg jagung dengan sarung Pak Dirman.
Tanggal 18 Februari 1949 rombongan sampai di Dukuh Sobo Pacitan yang akhirnya dijadikan Markas Besar karena lokasinya yang strategis, dan samaran Pak Dirman diganti menjadi Abdullah Lelonoputro atau Satrio Lelonoputro. Dari tempat ini Sudirman dapat memantau perkembangan Politik di Tanah Air, termasuk ikut mengorganisir Serangan 1 Maret 1949 yang dipimpin Letkol. Soeharto di Kota Yogyakarta. Selain itu Sudirman juga dapat berkomunikasi melalui pemancar radio untuk berhubungan dengan PDRI di Sumatera, Pak Simatupang di Dungkrong, Pak Nasution di Playen, Pak Sungkono di Bajulan, bahkan ke New Delhi.
Dengan berhasilnya serangan 1 Maret 1949 mempengaruhi posisi Belanda dan usaha perudingan kembali dilakukan. Tanggal 7 Mei 1949 Perjanjian Roem Royen disepakati dengan hasil kedua belah pihak mengakhiri permusuhan dan pemimpin RI dikembalikan ke Yogyakarta. Dengan adanya perjanjian Roem Royen ini diharapkan pula Jenderal Sudirman untuk kembali ke Yogyakarta, tapi Sudirman menolak sebagai bentuk protes kepada Pemerintah Pusat dan ingin terus melanjutkan perjuangan melalui angkat senjata. Dengan adanya desakan dan permohonan dari berbagai pihak termasuk Sri Sultan Hamengkubuwono dan Kolonel Gatot Subroto, Jenderal Sudirman bersedia kembali ke Yogyakarta. Akhirnya tanggal 10 Juli 1949 Jenderal Sudirman memasuki ibu kota RI Yogyakarta dengan kondisi sebagaimana adanya sewaktu gerilya. Selanjutnya Jenderal Sudirman menuju Gedung Agung dan disambut oleh Presiden Sukarno dan pejabat tinggi lainnya, baru sore harinya beliau menemui keluarga yang sudah lama ditingggalkannya.

Masa Damai
Sekembalinya Sudirman ke Yogyakarta terjadi isu bahwa hubungan Presiden Sukarno dan Jenderal Sudirman kurang baik, karena sama-sama kecewa terhadap sikap masing-masing semasa revolusi, tapi isu ini tidak terbukti. Tanggal 19 – 22 Juli 1949 terjadi Konferensi Inter Indonesia di Yogyakarta untuk pembentukan RIS yang kemudian dilanjutkan dengan Konferensi Meja Bundar di Den Haag tanggal 23 Agustus 1949 – 2 November 1949 dengan hasil negara RIS diakui sebagai negara merdeka dan berdaulat. Tanggal 17 Desember 1949 Sukarno dilantik sebagai Presiden dan Moh. Hatta sebagai Perdana Menteri serta Sudirman diangkat menjadi Panglima Besar APRIS. Dan Tanggal 27 Desember 1949 diadakan serah terima kedaulatan dan berakhirlah revolusi fisik dan Ibu kota negara kemali ke Jakarta.
Setelah berakhirnya revolusi fisik ini Jenderal Sudirman diistirahatkan di sanatorium pakem Yogyakarta kemudian dipindah ke Badaan Magelang. Dan akhirnya tanggal 29 Januari 1950 Jenderal Sudirman menghembuskan nafas yang terakhir diusia 38 tahun. Pada hari itu Moh. Hatta selaku Perdana Menteri atas nama pemerintah menyatakan sebagai hari berkabung Nasional dan dikibarkan bendera setengah tiang. Keesokan harinya tanggal 30 Januari 1950 Jenazah Jenderal Sudirman semayamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta dengan dihadiri oleh Sri Sultan Hamengkubuwono (Menteri Pertahanan), M. Natsir (Menteri Penerangan), Mayjen Suharjo (Wakil APRIS), Dr. Leimena (Wakil RIS), Mr. Asaat(Wakil RI), KRT Kamaludiningrat (Imam Besar MASJID Agung Kauman), Kolonel Gatot Subroto dan Letkol A. Yani. Selain tokoh-tokoh diatas hadir juga Komandan Divisi Tentara Belanda Mayjed Molliger yang menjadi (musuh Jenderal Sudirman saat perang gerilya) dan Mayor Ansidei atase Militer dari Perancis untuk mewakili UNCI

* Sudirman Pindah ke Perguruan Wiworotomo dikarenakan Perguruan Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara itu ditutup oleh Belanda melalui Wilde Scholen Ordonantie (UU sekolah liar)
** Tentara Tidak Berpolitik, Tidak Memihak Kepada Golongan, atau Partai Politik Tertentu, POLITIK NEGARA ADALAH POLITIK TENTARA
Selengkapnya... »»

Saturday, January 10, 2009

Mahakarya Jawa Yang Lahir Bukan Dari Rahim Jawa


I believe is no one possessed of more information respecting Java than myself . . ., tidak salah apa yang diucapkan oleh Thomas Stamford Raffles (1781-1826) sekitar 2 abad yang lalu, tentang masterpiece-nya yang satu ini “THE HISTORY OF JAVA”. Karena buku yang yang penulisannya diawali di Cisarua Bogor ini merupakan pelopor kajian tentang Jawa dan sumber gagasan Barat mengenai Jawa serta sebagai titik awal pengkajian Wilayah Timur sekaligus mempublikasikan tentang JAWA pada dunia barat waktu itu.
Raffles yang lahir diatas geladak Kapal Ann ketika berlabuh dilepas pantai Jamaika adalah anak seorang Koki dari Kapal tersebut. Raffless muda yang dikenal tekun dan rajin ini kemudian menjadi juru tulis di sebuah perusahaan Hindia Timur yang kemudian dipromosikan menjadi asisten sekretaris untuk wilayah Kepulauan Melayu. Raffles datang ke Jawa dengan expedisi militer dan mengusir Belanda bersamaan dengan Perancis menguasai Kerajaan Belanda dalam perang Napoleon, dan menjabat sebagai Gubernur Jenderal di jawa pada periode 1811-1816.
Selama di Jawa Raffles mengubah sistem tanam paksa (Culture Stelsel) tinggalan Belanda menjadi sistem Pajak Bumi (Landrente) yang disesuaikan dengan hukum adat Jawa serta mengatur sistem berkendara memakai jalur kiri yang dipakai hingga sekarang. Setelah perang Napoleon di Eropa berakhir, diberlakukan Konvensi London yang salah satu isinya Jawa dikembalikan ke Belanda. Dengan sangat terpaksa Raffles melepaskan Jawa dan kembali ke London bersamaan dengan penyakit tropisnya yang semakin parah dan harus berobat di sana. Tahun 1818 Raffles dikirim kembali ke timur dan dipromosikan menjadi Gubernur Bengkulu, dimana saat dia berkuasa banyak melakukan penelitian flora dan fauna yang menjadi cikal bakal Raffles Museum. Setahun berkuasa di Sumatera Raffles menggagas proyek spektakuler “Singapura” sebagai wujud dari kekecewaan atas lepasnya Jawa, dan bersumpah akan membentuk koloni baru yang meskipun kecil akan jauh lebih maju dari Pulau Jawa dan akhirnya terbukti, hingga sekarang menjadi salah satu macan Asia. Pada tahun 1823 karena gejolak Politik di Eropa sekali lagi dengan sangat terpaksa Raffles untuk kedua kalinya meninggalkan Kepulauan Hindia Timur yang kali ini adalah Sumatera setelah berhasil mewujudkan obsesinya di Singapura dengan mendirikan Raffles Museum yang mendokumentasikan seluruh flora dan fauna khas Jawa dan Sumatra. Sebagai wujud dari tertambatnya hati Raffles atas Jawa dan Sumatra, sekembalinya ke london dia mendirikan London Zoo dan Zoological Society of London di Inggris dan memberi nama sejumlah binatang dan tumbuhan memakai nama Sumatra dan dirinya sendiri (Rafflesi), diantaranya Harimau Sumatra dan Rafflesia Arnoldi. Sir Thomas Stamford Raffles meninggal dunia sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-45 karena menderita apoplexy.
Dalam buku setebal xxxvi + 904 hal ini, Raffles menuangkan setiap aspek kehidupan Jawa, diantaranya : etika, sastra, puisi, alat musik, drama, populasi, sejarah, agama, peninggalan kuno dan sistem militer di Jawa. Diawali dengan Pengantar yang berisi tentang kedatangan Portugis ke Jawa sampai pemerintahan Belanda pada masa Marshal Deandles (xvii-xxxiii). Dilanjutkan dengan pemaparan Pulau jawa dari sisi Geografis yang beisi tentang luas, bentuk, pembagian wilayah, pegunungan, sungai, danau, musim, logam, kondisi tanah, flora dan fauna yang ada di pulau Jawa. Diceritakan pula tentang sejarah peradaban Jawa dari awal adanya tradisi sampai munculnya ajaran Islam hingga kedatangan Angkatan Bersenjata Inggris di Jawa tahun 1811 M (hal. 430-590). Kata Jawa sendiri diambil dari nama Jawawut sejenis biji-bijian yang ditemukan oleh Aji Saka sewaktu dia mendarat di pulau Jawa, yang waktu itu dikenal dengan dengan nama Nusa Kendang, sebuah pulau yang menjadi hunian para raksasa. Peristiwa ini ditandai dengan Chandra Sengkala “nir abu tanpo jalan” yang berarti “hampa debu tidak ada yang lain hanya laki-laki” yang mengisyaratkan angka 0001, dengan ini maka dimulailah Tahun Jawa atau lebih dikenal dengan nama Tahun Aji Saka atau Tahun Saka.
Dalam Kebudayaan, masyarakat Jawa menggunakan huruf Jawa yang terdiri dari 20 aksara & 20 pasangan yang berkarakter mirip dengan huruf India, sebagaimana yang diajarkan dalam muatan lokal pada kurikulum Pendidikan Nasional kita hingga saat ini. Untuk Puisi (Tembang) dibedakan menjadi 3 tingkatan yaitu: sekar kawi, sekar sepoh dan sekar gangsal. Diantara tembang-tembang tersebut, Sekar Gangsal-lah yang masih populer hingga saat ini, yang diantaranya adalah : Asmarandhana, Dhandanggulo, Sinom, Pangkur, Durmo, Kinanthi & Mijil (hal. 228-292). Sedangkan untuk sekar kawi mengisahkan tentang berbagai cerita masyarakat, diantaranya adalah Legenda tentang Bharatayudha dan Ramayana (hal. 299-337). Dalam Astronomi Jawa dikenal istilah-istilah Tahun Aji Saka, Pasaran (Pahing, Pon, Wage, Kliwon & Legi), Wuku , Mangsa dan Windu. Masyarakat Jawa waktu itu sudah mengenal Poligami dan hal ini diperbolehkan secara hukum ataupun agama, meskipun tidak banyak yang mempraktekkannya. Hukum yang membolehkan Poligami hanya dinikmati oleh kalangan tertentu saja, sedangkan rakyat kebanyakan hanya memiliki satu isteri. Semua petinggi mulai dari mangkubumi ke bawah beristeri 2 dan berselir sampai 4 sedangkan raja beristri 4 dan berselir 8-10. Karena hal inilah maka pejabat waktu itu mempunyai banyak anak, yang diantaranya adalah Bupati Tuban yang mempunyai 68 anak (hal. 45).
Dalam bab IX Raffles memaparkan tentang peninggalan – peninggalan kuno di tanah Jawa diantaranya : Candi Prambanan, Candi Borobudur, Candi Brahu, Candi Singasari, Prasasti, Mata Uang, reruntuhan dari kerajaan Medang Kamulan, Majapahit dan Pajajaran. Diakhir bukunya Raffles menyertakan lampiran-lampiran yang memaparkan tentang : Batavia, Pulau Sulawesi, Pulau Bali, Terjemahan serat Surya Alam, Terjemahan Serat Manik Maya, Terjemahan berbagai prasasti Jawa, Perdagangan dengan Jepang, Perbandingan Kosakata antara bahasa Melayu, Jawa, Madura, Bali dan Lampung serta ditutup dengan Memorandum mengenai satuan yang berlaku pada waktu itu (hal. 627-902). Tidak lupa Rafless juga menyertakan data Populasi Penduduk Jawa dan Madura berdasar sensus Pemerintah inggris di Tahun 1815 (hal. 39)
Mungkin semua inilah yang menyebabkan mengapa Sir Thomas Stamford Raffles menangis saat meninggalkan pulau Jawa dan Pulau Sumatra, lalu bagaimana dengan kita yang notabennya dilahirkan dari Rahim Pulau Jawa Sendiri . . . ?
Selengkapnya... »»